Rabu, 27 Oktober 2010

Awalnya Pembelajaran, Ujungnya Kesempurnaan


Lelaki buta huruf itu tiba-tiba disuruh membaca. Bukan. Bukan disuruh. Tepatnya dipaksa. Sampai tiga kali. Dan pecahlah peristiwa itu dalam sejarah manusia; lelaki buta huruf itu lantas diangkat menjadi nabi, bahkan penutup mata rantai kenabian hingga akhir zaman.

Begitulah perintah membaca mengawali pengangkatan Muhammad menjadi Nabi. Kelak, setelah menunaikan tugas kenabian itu selama 23 tahun, atau tepatnya 22 tahun 2 bulan 22 hari, Allah SWT menutup perjuangan beliau dengan satu ayat tentang kesempurnaan: ”Hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu, dan Ku-sempurnakan pula nikmat-Ku untukmu dan Aku ridho Islam sebagai agamamu.”

Risalah kenabian itu dibuka dengan perintah membaca, dan kelak ditutup dengan pernyataan penyempurnaan dan keridhoan. Awalnya adalah pembacaan. Ujungnya adalah penyempurnaan. Maka berkembanglah agama terakhir ini dari seorang Nabi menjadi seratusan ribu manusia Muslim, dari komunitas kecil para penggembala kambing jazirah Arab yang tandus menjadi sebuah peradaban besar yang memimpin kemanusiaan selama lebih dari seribu tahun.

Kitab kehidupan ini memang begitu seharusnya dipahami: bukalah ia dengan pembacaan yang menyeluruh, niscaya engkau akan mengkhatamkannya dengan kesempurnaan. Jika kita belajar lebih banyak di awal kehidupan, niscaya kita akan mencapai kesempurnaan di penghujung umur, dan menutup mata dengan senyum dalan keridhaan Allah SWT.

Cara kita menjalani hidup selamanya ditentukan oleh cara kita memahami hidup. Seperti apa cara kita memahami hidup, seperti itu pula cara kita menjalaninya. Coba masuk ke dalam hutan belantara tanpa peta. Pasti tersesat. Bahkan mungkin tidak bisa keluar. Begitu juga kehidupan. Membaca adalah peta. Makin menyeluruh dan akurat peta yang kita miliki, makin cepat dan pasti kita sampai ke tujuan.

Diantara pembelajaran dan kesempurnaan, ada satu jembatan emas yang menghubungkannya: pertumbuhan. Pertumbuhan adalah adalah jalan menuju kesempurnaan. Mereka belajar maka mereka tumbuh. Kesempurnaan adalah ujung hidup yang dicapai dari tapak demi tapak kehidupan. Mereka menjadi sempurna karena mereka tidak pernah berhenti menjadi lebih baik. [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran, Majalah Tarbawi]

Selasa, 26 Oktober 2010

Mendaki Sejarah


Di alam batin para pahlawan, pencinta dan pembelajar sejati, hidup selalu dimaknai dengan pendakian sejarah. Kita akan sampai ke puncak kalau kita selamanya mempunyai energi dan rute pendakian yang jelas. Pendakian kita akan terhenti begitu kita kehabisan nafas dan kehilangan arah. Energi dan rute, nafas dan arah, adalah kekuatan fundamental yang selamanya membuat kita terus mendaki, selamanya membuat hidup terus bertumbuh.

Semakin tinggi gunung yang kita daki, semakin panjang nafas yang kita butuhkan. Begitu kita kehabisan oksigen, kita mati. Semakin kita berada di ketinggian semakin kita kekurangan oksigen. Itu sebabnya kita harus merawat dan mempertahankan semangat kepahlawanan kita. Karena dari sanalah kita mendapatkan nafas untuk terus mendaki.

Tapi kita perlu rute yang akurat dan jelas. Sebab kesadaran tentang jarak memberikan kita kita kesadaran lain tentang bagaimana mendistribusikan energi secara seimbang dan proporsional dalam jarak tempuh yang harus dilalui dan pada lama waktu yang tersedia.

Rute yang jelas dan akurat akan membuat kita jadi terarah. Keterarahan, atau perasaan terarah, sense of direction, memberi kita kepastian dan kemantapan hati untuk melangkah. Pandangan mata kita jauh menjangkau masa depan, menembus tabir ketidaktahuan, keraguan dan ketidakpastian. Kita tahu ke mana kita melangkah, berapa jauh jarak yang harus kita tempuh, berapa lama waktu yang kita perlukan. Ketika kita menengok ke belakang, atau melihat ke bawah, ke kaki gunung yang telah kita lalui, ke lembah ngarai yang terhampar di sana, kita juga tahu jarak yang telah kita lalui. Ilham dari masa lalu dan mimpi masa depan terajut indah dan cerah dalam realitas kekinian.

Rute itu membuat kita menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran akan jarak dan waktu. Dalam kesadaran ini fokus kita tertuju pada semua upaya untuk menjadi efisien, efektif dan maksimal. Kita menjadi peserta kehidupan yang sadar, kata Muhammad Iqbal.

Kesadaran itu manifestasi pembelajaran. Kesadaran itu melahirkan kekhusyukan. Maka begitulah sejak dini benar, tepatnya pada tahun keempat periode Makkah, Allah menegur keras para sahabat Rasulullah SAW, generasi pertama Islam, untuk tidak banyak bercanda dan segera menjalani kehidupan dengan kekhusyukan:

“Belumkah datang saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk mengkhusukkan diri mengingat Allah dan (melaksanakan) apa yang turun dari kebenaran itu (Al- Qur’an)”. [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran, Majalah Tarbawi]

Senin, 25 Oktober 2010

Pahlawan, Pecinta dan Pembelajar





Semangat kepahlawanan dan kekuatan cinta adalah sumber energi yang menggerakkan segenap raga kita untuk menciptakan taman kehidupan yang indah bagi diri kita dan orang lain. Tapi pembelajaran menuntun kita untuk berjalan dengan cara yang benar pada peta jalan yang tepat menuju ke sana.

Semangat kepahlawanan dan kekuatan cinta adalah sumber energi yang mendorong kita untuk terus-menerus memberi, untuk berkontribusi tanpa henti dalam menciptakan taman kehidupan yang indah itu. Tapi pembelajaran menuntun kita untuk mengembangkan kapasitas diri kita, juga tanpa henti, agar semangat memberi berbanding lurus dengan kemampuan kita untuk memberi. Sebab mereka yang tidak punya apa-apa, kata pepatah Arab, takkan bisa memberi apa-apa.

Semangat kepahlawanan dan kekuatan cinta adalah sumber energi yang lahir dari keikhlasan dan ketulusan niat, tumbuh berkembang dalam lingkungan hati yang mulia dan luhur, mekar dan berbuah dalam rengkuhan jiwa yang baik dan bijak. Maka seluruh niatnya adalah kebajikan. Maka segala cintanya adalah ketinggian. Tapi pembelajaran membingkai niat baik itu denga cara yang benar dan tepat.

Maka berpadulah ketulusan dengan kebenaran. Maka bertautlah kebaikan dengan ketepatan. Maka menyatulah keluhuran dengan keterarahan. Maka bersamalah ketinggian cita dengan peta jalan yang terang benderang.

Begitulah pada mulanya pahlawan sejati menapaki tilas sejarah mereka. Mereka mendengar panggilan sejarah yang diteriakkan oleh pekik nurani mereka. Maka mereka terbangun, tersadar, lalu bergerak. Lalu datanglah cinta memberi tenaga pada gerak mereka. Maka langkah kaki mereka menancap kokoh di tapak sejarah, melaju secepat angin, kuat bertenaga bagai badai. Tapi mereka menyadari makna waktu dalam aksi mereka; bahwa ada keterbatasan waktu yang tidak bisa mereka kendalikan padahal cita mereka teramat tingggi; bahwa memberi adalah proses yang tak boleh berhenti seperti kompetisi maraton yang mensyaratkan nafas panjang. Mereka memiliki sumber energi yang dahsyat, tapi mereka juga tahu bagaimana mengelola energi itu untuk bisa menciptakan karya kehidupan yang maksimal. Mereka menyadari bahwa mereka memiliki keterbatasan yang rapuh, tetapi mereka juga tahu bagaimana mensiasati keterbatasan itu untuk bisa tetap bertumbuh sampai ke puncak. [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran, Majalah Tarbawi]

JUMPA LAGI

Hari ini saya sempatkan mengunjungi blog yang pernah saya buat. Ternyata cukup lama tidak menulis di blog ini. Ingin kembali menulis, saya i...